3 Atraksi Tari Perang Tradisional Paling Seru di Bali


tari atraksi bali

Apa saja jenis seni atraksi dan tarian perang yang hanya bisa anda tonton di pulau Bali? Apa nilai kesakralan seni pertunjukan tersebut? Selain untuk menikmati suasana panorama alamnya, tentu alasan lain orang berwisata ke pulau Bali adalah menyaksikan keunikan tradisi budaya masyarakatnya.

Seperti halnya juga daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki keunikan tradisi budayanya masing-masing, warisan kebudayaan Bali yang khas juga menjadi daya tarik kunjungan wisatawan ke pulau Bali, baik lokal maupun internasional. Salah satu jenis diantaranya adalah seni pertunjukan berupa atraksi perang (adu kekuatan).

Ada berbagai macam nama seni atraksi perang-perangan di pulau Bali sesuai dengan daerahnya, namun ada tiga yang cukup dikenal para wisatawan, yaitu:

1. Lukat Geni

Kata ” melukat” dalam  Jawa Kuna Indonesia artinya melepaskan, membebaskan. Sedangkan menurut Bahasa Bali, kata lukat, melukat  artinya membersihkan kekotoran batin.  Sedang kata geni artinya api.Jadi upacara lukat geni / melukat adalah suatu bentuk upaya menetralisir keburukan dalam diri manusia dan alam dengan menggunakan cahaya pengetahuan yang disimbolkan oleh api/geni. Tradisi Lukat Geni (perang api) dilaksanakan masyarakat Puri Satria Kawan, Paksebali, Dawan, Klungkung pada senja hari sebelum Hari Raya Nyepi.

lukat geni atraksi perang apiTradisi ini dijalankan turun-temurun sejak bertahun-tahun lalu. Lukat Geni adalah sebuah prosesi dalam kondisi peperangan dengan api dari daun kelapa kering sebagai sarana (senjata). Melibatkan beberapa pemuda dari wilayah setempat secara berpasangan (lawan). Daun kelapa kering yang digunakan sebagai senjata, diikat lalu dinyalakan. Kemudian dipukulkan kepada lawan masing-masing.

Sebelum prosesi dimulai, pemangku Merajan Agung Puri Satria Kawan terlebih dahulu memohonkan kepada sesuhunan untuk kelancaran prosesi tersebut. Baik peserta maupun sarana yang akan dipakai sebelumnya juga telah melalui ritual khusus.

Sejak sore hari, para pemuda berkumpul, untuk ambil bagian dalam tradisi Lukat Geni. Seluruh masyarakat, tua-muda, laki-perempuan juga tumpah ruah menyaksikan dari dekat. Lukat Geni dilaksanakan sebelum ogoh-ogoh diarak. Sebelum pengarakan ogoh-ogoh, peserta Lukat Geni (para pemuda) tampak saling pukul satu sama lain menggunakan api dari seikat daun kelapa kering. Aksi ”saling pukul” itu semakin garang karena diiringi tabuh beleganjur yang ditabuh dengan penuh semangat. Namun, tidak terlihat amarah antar satu sama lain. Tak ada juga dendam.

Kendati menggunakan api, tidak juga terlihat ada pemuda mengalami luka. Karena semua itu mereka lakukan demi satu tujuan, yakni menghilangkan sifat-sifat buruk/negatif. Mengingat pada dasarnya, tradisi Lukat Geni digelar untuk pembersihan alam. Menetralisir kekuatan-kekuatan negatif, sehingga tidak menimbulkan gangguan dari hal-hal yang sifatnya merusak.  Dikatakan, ritual Lukat Geni sudah ada sejak zaman dulu. Namun karena beberapa faktor, tradisi itu sempat ditiadakan. Baru beberapa tahun belakangan, ritual tersebut kembali dilaksanakan untuk menetralisir dan menjaga keseimbangan alam.

2. Perang Pandan

atraksi tradisional bali perang pandanPerang Pandan atau disebut juga Mekare-kare merupakan adu ketangkasan dengan menggunakan senjata yang berupa seikat daun pandan yang penuh duri. Tradisi Perang pandan ini ada di Desa Tenganan, Karangasem Bali. Tradisi perang pandan ini bertujuan untuk penghormatan kepada Dewa Indra, Dewa yang pernah memberikan anugerah kepada desa ini menurut cerita berdirinya desa Tenganan pada zaman Bali mula.

Kegiatan upacara ritual ini diadakan tiap tahun bulan juni di Desa Tenganan, yang terletak di 70 km timur Denpasar Bali lebih kurang 70 menit menggunakan kendaraan bermotor, desa ini merupakan salah satu desa tua di Bali, atau yang disebut sebagai desa Bali Aga. Lokasi desa ini dikelilingi bukit, sementara bentuk desa sendiri seperti layak nya sebuah benteng  yang hanya mempunyai empat pintu masuk dengan sistem penjagaan,sehingga lebih memudahkan untuk tahu siapa saja yang datang dan pergi dari desa tersebut.

Kepercayaan yang dianut warga desa Tenganan berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Warga desa Tenganan mempunyai aturan tertulis atau awig-awig yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka,juga tidak mengenal kasta dan diyakini Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan.

Upacara Perang Pandan/Mekare kare ini diadakan 2 hari dan diselenggarakan 1 sekali dalam setahun pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) dan merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.

Tempat pelaksanaan upacara Mekare-kare ini adalah didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa. Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), untuk  para pria hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju, bertelanjang dada.

Perlengkapan Perang ini adalah pandan berduri diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada, sementara untuk perisai yang terbuat dari rotan. Setiap pria  (mulai naik remaja) di desa ini wajib ikut dalam pelaksanaan Perang Pandan, panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu. Dengan tinggi sekitar 1 meter, tanpa tali pengaman mengelilingi.

Perang pandan ini dilakukan dengan cara menggeret-geretkan pandan yang berduri ke punggung lawan hingga tampak luka goresan di bagian punggung ataupun juga lengan. Pertandingan ini tidak berlangsung lama. Kurang dari satu menit bahkan. Selesai satu pertandingan langsung disambung pertandingan yang lain, Ini dilakukan bergilir (lebih kurang selama 3 jam).

Seusai upacara tersebut semua luka gores diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan luka. Tidak ada sorot mata sedih bahkan tangisan pada saat itu karena mereka semua melakukannya dengan ikhlas dan gembira sebagai bukti bakti kepada Dewa Indra, Sang Dewa Perang.

3. Gebug Ende

pertunjukan gebug endeGebug berarti memukul (serang) dan ende berarti tameng (terbuat dari kulit sapi). Gebug Ende adalah seni pertunjukan tari perang tradisional yang menggunakan rotan sebagai pemukul dengan dibekali sebuah tameng atau perisai yang disebut ende. Gebug Ende berasal dari daerah Karangasem, terutama daerah Seraya.

Seiring migrasi penduduk ke beberapa tempat misalnya ke kabupaten Buleleng, maka seni tari perang ini berkembang dan menyebar ke daerah-daerah lain di Bali. Gebug Ende dipercaya sebagai sebuah seni pertunjukan yang bertujuan untuk mendatangkan hujan dan juga mengusir wabah penyakit atau grubug pada suatu desa.

Gebug Ende, dalam atraksinya adalah mengadu dua orang (terutama kaum laki-laki) yang masing-masing dibekali sebuah senjata kayu rotan dan ende untuk saling serang dalam sebuah arena pertandingan. Wasit yang memimpin pertandingan disebut dengan istilah Saya (baca : saye). Dua orang yang akan megebug dibatasi dengan sebuah garis pembatas yang tidak boleh dilewati ketika menyerang lawan. Sebelum bertarung, biasanya masing-masing petarung melakukan aksi tarian di area arenanya, terkadang tarian yang dipamerkan terlihat kocak sehingga mampu memeriahkan suasana penonton.

Atraksi ini memerlukan kecepatan dan kecekatan gerak tangan dan tubuh dan sikap awas yang tinggi sehingga mampu memukul lawan atau menghindar dari serangan lawan. Untuk menambah semangat, maka tarian ini diiringi oleh musik perkusi tradisional Bali. Anak-anak, para pemuda, orang dewasa, para tetua yang giginya tinggal dua, dan bahkan para wanita bisa melakukan atraksi ini. Tentu yang menentukan lawan pemain yang cocok adalah para Saya, sesuai dengan kondisi fisik dan juga umurnya. Walaupun ada pihak pemain yang terluka berdarah, tidak ada rasa kalah atau menang dalam atraksi ini, karena memang atraksi ini bertujuan untuk meneteskan darah, sebagai sarana untuk mendatangkan hujan.

Beberapa tahun lalu, sebuah desa di Bali tempat saya berlibur pernah dilanda kekeringan. Hujan belum juga turun, padahal musim tanam telah lewat 3 bulan. Akhirnya di desa tersebut diadakan atraksi Gebug Ende yang diikuti oleh banyak pemuda, orang dewasa, dan juga anak-anak.

Ketika adu tarung ini memasuki hari ketiga, hujan gerimis mulai turun, dan semua penonton tampak gembira dan bersorak. Kemudian hari –hari berikutnya  hujan mulai rajin turun, dan musim tanam pun berlangsung. Pulau Bali memang penuh misteri! Seusai pertarungan, biasanya para pemain saling berjabat tangan atau berpelukan sebagai bentuk sikap sportifitas dan menghilangkan rasa marah atau dendam ketika megebug.

Demikianlah tiga atraksi tradisional berupa perang adu kekuatan yang tujuan utamanya adalah untuk kegiatan yadnya (upacara keagamaan) dan juga sebagai media tontonan hiburan masyarakat Bali. * Terima kasih telah membaca artikel ini. Jika bermanfaat, jangan lupa share di media sosial, seperti Facebook dan Twitter.


Tinggalkan komentar