Dahulu kala, di sebuah desa kecil di pegunungan Jepang, hiduplah seorang pemuda bernama Yamamoto. Kehidupannya sederhana dan penuh keterbatasan. Setiap hari, ia mendaki gunung dan memasuki hutan untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian membawanya ke kota untuk dijual.
Uang hasil penjualannya, selalu ia gunakan untuk membeli makanan sederhana, agar bisa bertahan hidup. Kehidupan Yamamoto mungkin tampak membosankan, tetapi ia adalah sosok yang baik hati, pekerja keras, dan penuh rasa syukur terhadap apa pun yang ia miliki.
Suatu sore yang dingin, ketika salju turun dengan lebat, Yamamoto berjalan pulang dari kota seperti biasanya. Langit mendung, dan hutan di sekitarnya begitu sunyi. Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak di atas salju.
Karena penasaran, ia mendekati sesuatu yang bergerak itu, dan menemukan seekor burung bangau yang sedang terjerat perangkap. Bangau itu meronta-ronta, berusaha melepaskan diri, tetapi perangkap itu terlalu kuat.
Tanpa ragu, Yamamoto segera melepaskan perangkap tersebut, meskipun tangannya terasa beku karena salju. Ia berkata dengan lembut kepada burung bangau itu, “Tenanglah, aku akan membebaskanmu,”.
Ketika perangkap akhirnya terlepas, bangau itu mengepakkan sayapnya dengan gembira. Ia terbang berputar-putar di atas kepala Yamamoto, seolah-olah mengucapkan terima kasih, sebelum akhirnya terbang ke angkasa, dan menghilang di balik kabut.
Setibanya di rumah, cuaca semakin dingin. Yamamoto segera menyalakan tungku api kecil, di sudut rumahnya yang sederhana. Ia menyiapkan makanan seadanya, berupa nasi hangat dan sup sederhana. Namun, ketika ia hendak menyantap makanannya, terdengar suara ketukan di pintu. Suara itu terdengar pelan, nyaris tenggelam dalam deru angin salju.
Penuh rasa ingin tahu, Yamamoto membuka pintu. Di hadapannya, berdiri seorang gadis muda, yang sangat cantik. Rambutnya hitam legam, tetapi agak tertutupi butiran-butiran salju. Pipi merahnya menunjukkan, bahwa ia telah berjalan jauh, dalam cuaca yang begitu dingin.
Dengan nada ramah, Yamamoto berkata, “Masuklah, Nona. Pasti kau kedinginan. Hangatkan badanmu di dekat tungku”. Gadis itu tersenyum lembut dan mengangguk. Setelah duduk di dekat api, Yamamoto kemudian bertanya, “Nona mau pergi ke mana sebenarnya?”
Gadis itu menjawab dengan suara pelan, “Aku bermaksud mengunjungi temanku, tetapi karena salju turun dengan lebat, aku tersesat. Hari sudah gelap, aku sudah berjalan jauh, dan hanya rumah ini yang terlihat di sini. Bolehkah aku menginap di sini untuk malam ini saja?”
Yamamoto merasa kasihan lalu mengangguk sambil berucap, “Tentu saja, namun aku ini orang miskin, tak punya kasur empuk atau makanan yang enak.”
Gadis cantik itu balas menjawab, “Tidak apa-apa. Aku hanya butuh tempat untuk berlindung dari salju. Namaku Aiko, izinkan aku berteduh di rumah ini”.
Yamamoto pun dengan tulus memberikan kamarnya kepada Aiko sebagai tempat beristirahat.
Malam itu, Aiko membersihkan rumah Yamamoto, merapikan barang-barang, dan memasak makanan yang jauh lebih lezat dari yang biasa Yamamoto makan. Pagi harinya, ketika Yamamoto terbangun, ia terkejut melihat gadis itu telah menyiapkan sarapan berupa nasi dan sayur hangat.
Dua hari berlalu, hujan salju belum juga reda, Aiko masih tetap tinggal bersama Yamamoto. Ketika cuaca sudah mulai membaik, Aiko tiba-tiba berkata, “Yamamoto, maukah engkau menjadikanku sebagai istrimu dan membiarkan aku tinggal di sini selamanya?”
Yamamoto, yang merasa kesepian selama ini, menerima permintaan itu dengan bahagia. Mereka pun menikah dan menjalani kehidupan bersama. Aiko adalah istri yang penuh perhatian. Ia membersihkan rumah, memasak, dan merawat suaminya dengan penuh kasih.
Suatu hari, Aiko meminta Yamamoto membelikannya benang. “Aku ingin menenun kain, bisakah engkau membelikanku beberapa benang?”. Yamamoto pun menuruti permintaan istrinya. Dia pergi ke pasar untuk membeli beberapa gulung benang.
Aiko merasa senang, dan ia pun mulai menenun di balik penyekat ruangan dan berpesan agar Yamamoto tidak mengintip apa pun yang terjadi di dalamnya. Sehari semalam Aiko menenun tanpa henti, tidak makan atau pun minum. Ketika ia keluar, ia membawa sehelai kain tenun yang sangat indah, berkilauan seperti emas dan perak.
Sambil menunjukan kepada suaminya, Aiko berkata, “Ini adalah kain ayanishiki. Bawa kain ini ke kota, pasti akan laku dengan harga mahal.”
Yamamoto pun berangkat ke kota untuk menjual kain buatan istrinya. Dan benar saja, kain itu terjual dengan harga tinggi. Uang yang diterima Yamamoto cukup untuk membeli barang-barang kebutuhan dan makanan yang lebih enak. Para saudagar di kota sangat terpesona oleh kain itu dan meminta Yamamoto membawa lebih banyak lagi.
Dalam perbincangan mereka di rumah, Yamamoto meminta Aiko untuk membuat kain tenun lagi demi memenuhi permintaan para saudagar di kota. Meski tubuhnya semakin lemah setiap kali selesai menenun, Aiko setuju untuk membuat kain-kain lagi. Namun, ia selalu berpesan kepada Yamamoto agar jangan sekali-kali mengintipnya saat semalaman menenun di dalam kamar.
Saat Aiko menenun kain ketiga, rasa penasaran Yamamoto tak lagi tertahankan. Ia mengintip ke balik penyekat dan terkejut melihat seekor burung bangau yang sedang mencabuti bulunya untuk dijadikan benang tenun.
Bangau itu menyadari Yamamoto telah mengintip dan akhirnya berubah kembali menjadi gadis Aiko. Dengan perasaan sedih dan kecewa, Aiko berucap kepada Yamamoto, “Kau telah melanggar janjimu. Sebenarnya aku adalah bangau yang pernah kau selamatkan. Aku ingin membalas budi, tetapi kau telah melanggar janji. Sekarang aku harus pergi.”
Yamamoto berusaha mencegah Aiko, namun Aiko telah kembali ke wujud bangau, mengepakkan sayapnya yang kini hampir gundul, dan terbang meninggalkan Yamamoto. Hati Yamamoto hancur, ia hanya bisa menyesali perbuatannya. Sejak hari itu, ia kembali hidup sendirian, tetapi ia tak pernah melupakan sosok Aiko yang telah memberikan kebahagiaan singkat dalam hidupnya.