Mengenal Pemerintahan Desa Adat Bali dan Aturannya


desa adat bali

Apa itu desa adat? Seperti apa sistem pemerintahan desa adat? Bagaimana eksistensi desa adat di pulau Bali? Sejak zaman kuno, yaitu sekitar abad ke-9, masyarakat Bali telah mengenal sistem pemerintahan desa yang disebut desa Pakraman. Menurut pendapat Liefrinck, sebuah desa di Bali dianggap sebagai republik kecil yang masing-masing memiliki aturan dan hukum tersendiri. Pemerintah desa tersebut diselenggarakan secara demokratis dan otonom.

Sejarah pembentukan desa-desa di Pulau Bali juga ditulis pada lontar-lontar kuno, misalnya lontar Markandeya Purana. Ketika pulau Bali dikuasai oleh Belanda pada abad ke-18, sistem pemerintahan dan adat istiadat masyarakat Bali berubah menurut bentuk kolonialisme.

Pada tahun 1906-1908, Belanda membentuk sebuah sistem baru pemerintahan desa sebagai bawahan langsung dari pemerintahan kolonial Belanda. Sejak saat itu, di Bali ada dua sistem administrasi desa, yakni desa dinas dan desa adat atau desa pakraman. Sampai saat ini, keberadaan kedua sistem pemerintahan desa tersebut masih berjalan harmonis.

Desa dinas adalah sistem pemerintahan desa yang bertanggung jawab atas masalah masyarakat desa, misalnya, untuk mengajukan permohonan kartu identitas, kartu keluarga, dan yang menyangkut kepemerintahan. Dalam struktur organisasi pemerintah, desa berada di bawah kantor kecamatan. Sedangkan, pemerintahan desa adat atau disebut desa Pakraman adalah sistem pemerintah tradisional yang melayani mengurus masalah adat, sosial, agama dan budaya di wilayah masing-masing desa.

Pemerintahan desa adat dipimpin oleh seorang ketua yang disebut Kelihan Adat atau Bendesa Adat. Proses pemilihan untuk memilih Kelihan Adat dilakukan dengan cara demokratis, dalam jangka waktu tertentu. Dalam menjalankan tugasnya, Kelihan Adat dibantu oleh bawahan, yaitu sekretaris (disebut Penyarikan), bendahara (disebut Petengen), dan penyebar informasi (disebut Kasinoman atau Juru Arah).

Struktur kelembagaan desa adat (desa adat) di pulau Bali terdiri dari tiga tingkatan, yaitu: 1 Desa Adat Agung (tingkat provinsi), 9 Desa Adat Madya (tingkat kabupaten), dan sekitar 700 desa Pakraman (tingkat desa). Sebagaimana dinyatakan di atas, tugas utama pemerintah desa adat adalah untuk menangani kegiatan kepabeanan, budaya, agama, dan isu-isu sosial. Ketika sebuah keluarga akan melakukan upacara pernikahan, pemimpin desa adat (Kelihan Adat) akan menanganinya.

Ketika penduduk desa akan mengadakan upacara keagamaan di pura desa, tugas dan tanggung jawab berada di pemerintahan desa adat. Dan masih banyak lagi jenis kegiatan yang merupakan tugas dari pemerintah desa adat. Dalam menjalankan tugasnya, Kelihan Adat (pemimpin adat) dan bawahannya harus berdasarkan pada aturan adat istiadat setempat, baik itu aturan tertulis dan aturan tidak tertulis. Aturan desa adat disebut “Awig awig”.

Siapa yang memberikan gaji dan berapa banyak jumlah gaji yang diterima oleh Kelihan Adat dan para asistennya? Pada dasarnya, sistem kerja di pemerintahan desa adat adalah “ngayah”. Makna Ngayah artinya bekerja dan melayani masyarakat tanpa mengharapkan imbalan apa pun.

Dalam hukum adat Bali, mereka tidak memiliki hak untuk menuntut gaji dalam memangku jabatan tersebut. Semua harus dilakukan dengan sukarela. Namun, sebagai bentuk rasa terima kasih, pemerintah provinsi dan kabupaten telah mengalokasikan dana untuk kebutuhan desa adat, seperti memberikan insentif kepada para pemimpin adat (Kelihan Adat) dan pembantunya sekitar 700ribu -c1,5 juta rupiah per bulan. Jumlah uang yang masih kecil.

Contoh Isi Awig-awig, Aturan Adat Masyarakat Bali

Di desa-desa di Pulau Bali, ada dua jenis pemerintahan, yaitu pemerintah dinas dan pemerintahan adat. Dua jenis pemerintah tersebut bekerja dalam harmoni, sinergi, dan bergotong royong untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai. Untuk mencapai kehidupan desa yang tertib, peraturan-peraturan yang mengikat diperlukan bagi seluruh warga desa. Dalam pemerintahan desa tradisional, aturan ini disebut “Awig-awig”. Awig-awig disusun melalui musyawarah bersama. Isi hukum (awig-awig) di setiap desa adat berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi dan situasi di masing-masing desa.

Tapi secara umum terdiri dari enam bagian utama, yaitu: identitas desa; formasi dasar dan tujuan; struktur desa tradisional dan perangkatnya; tentang kegiatan keagamaan; norma sopan santun, dan tentang sanksi.

1. Pada bagian “identitas desa adat” dijelaskan mengenai lokasi geografis desa adat, jumlah banjar, dan jumlah organisasi kelompok di bawah pemerintahan desa adat.

2. Dasar dari pembentukan desa adat adalah Pancasila (negara Indonesia), UUD 1945, konsep Tri Hita Karana, dan peraturan provinsi Bali.

3. Pada bagian ketiga, menggambarkan struktur desa adat, serta hak dan kewajiban masing-masing kelompok warga desa. Dalam awig-awig, juga diuraikan mengenai etiket pernikahan, bagaimana menerima tamu dari luar desa, serta hak dan kewajiban orang tua. Selain itu, juga ada aturan penggunaan kentungan kayu (kul-kul). Kentungan dalam bahasa Bali yang disebut Kulkul adalah salah satu alat tradisional untuk memberikan tanda suara untuk warga desa, yang terbuat dari bambu atau kayu kelapa.

Meskipun alat-alat modern saat ini telah tersedia, seperti alarm, loudspeaker, handphone, dan bel sirene, tetapi kentungan tradisional yang menggantung di depan kantor desa atau di areal pura tetap dipertahankan keberadaannya. Misalnya kentungan yang terdengar tiga kali menunjukkan ada warga yang meninggal, kentungan kayu dipukul dengan cepat menandakan bencana alam.

4. Pada bagian keempat menguraikan tata aturan pelaksanaan upacara agama, termasuk hak-hak dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki dalam menyelenggarakan ceremonial agama (misal saat Piodalan), tentang pelaksanaan upacara Ngaben (kematian), upacara yang didedikasikan untuk alam, dan sebagainya.

5. Pada bagian kelima dalam undang-undang desa adat, menggambarkan perilaku warga desa yang juga mencakup tentang kehidupan pernikahan, perceraian, dan warisan. Dalam budaya Bali, hak waris dipegang oleh laki-laki, sementara anak perempuan tidak memiliki hak jika telah menikah.

6. Pada bagian keenam berisi aturan denda dan hukuman. Ada berbagai jenis hukuman yang dicantumkan pada awig-awig, mulai dari denda uang hingga sanksi pengusiran ke luar desa adat.

Demikian sekilas deskripsi dan uraian mengenai konsep dan tata aturan tradisional dalam kehidupan masyarakat Bali. Setiap desa dan wilayah tertentu di Bali memiliki aturan dan awig-awig yang khas, dan setiap penduduk Bali menghormati perbedaan awig-awig tersebut. * Terima kasih telah membaca artikel ini. Jika bermanfaat, jangan lupa share di media sosial, seperti Facebook dan Twitter.


Tinggalkan komentar